Medan Area

Medan Area

Perang setelah Indonesia Merdeka

Kamis, 07 Agustus 2008

Pertempuran Heroik Di Surabaya

Tanggal 28 Oktober setiap tahun, bangsa Indonesia memeringati hari yang
bersejarah, yang merupakan salah satu tonggak menuju pembentukan negara
Republik Indonesia. Pada 28 Oktober 1928, para pemuda yang tergabung dalam
berbagai organisasi pemuda dari berbagai daerah di India Belanda, di akhir
Kongres Pemuda ke II mengeluarkan satu keputusan, yang kini dikenal sebagai
Sumpah Pemuda. Bunyi keputusan tersebut adalah:

Poetoesan Congres
Pemoeda-Pemoedi Indonesia

Kerapatan pemoeda-pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan, dengan
namanja Jong Java, Jong Soematra (Pemoeda Soematra), Pemoeda Indonesia, Sekar
Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan
Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia;
Memboeka rapat pada tanggal 27 dan 28 Oktober tahoen 1928 di negeri Djakarta;
Sesoedahnja menimbang segala isi-isi pidato-pidato dan pembitjaraan ini;
Kerapatan laloe mengambil kepoetoesan:

Pertama : Kami poetera dan poeteri Indonesia mengakoe
bertoempah darah jang satoe, Tanah Indonesia.
Kedoea : Kami poetera dan poeteri Indonesia mengakoe
Berbangsa jang satoe, Bangsa Indonesia
Ketiga : Kami poetera dan poeteri Indonesia mendjoendjoeng
bahasa persatoean, Bahasa Indonesia

Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini
wajib dipakai oleh segala perkoempoelan kebangsaan Indonesia.
Mengeloearkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan
dasar persatoeannya:
Kemaoean
Sedjarah
Bahasa
Hoekoem Adat
Pendidikan dan Kepandoean

dan mengeloearkan pengharapan soepaja poetoesan ini disiarkan dalam segala
soerat kabar dan dibatjakan di moeka rapat perkoempoelan-perkoempoelan.

Selain peristiwa 28 Oktober 1928, ada satu peristiwa heroik yang juga terjadi
pada tanggal 28 Oktober, yang hingga kini kurang atau belum memperoleh
perhatian dari bangsa Indonesia, yaitu pertempuran dahsyat yang terjadi pada 28
Oktober 1945 di Surabaya, di mana para pemuda dari hampir seluruh daerah di
Indonesia bertempur melawan tentara Inggris, untuk mempertahankan kemerdekaan
bangsa Indonesia, yang baru diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Pertempuran
heroik di Surabaya pada 28 Oktober 1945 adalah akar dari peristiwa pemboman
yang dilakukan oleh tentara Inggris, yang dimulai pada 10 November 1945.
Berikut ini disampaikan sekilas mengenai peristiwa bersejarah tersebut, agar
dalam renungan 28 Oktober, selain memperingati Hari Sumpah Pemuda, dapat digali
kembali semangat yang tertanam dalam diri para pemuda Indonesia pada waktu itu,
guna membangun kembali semangat kebersamaan dan perjuangan dari bangsa
Indonesia, yang kini sedang terancam bahaya disintegrasi.

Latar belakang sejarah
Setelah Jepang menyerah kepada sekutu pada 15 Agustus 1945, Belanda
bersiap-siap untuk kembali ke bekas jajahannya sebagai penguasa. Sebenarnya
Belanda telah kehilangan haknya atas wilayah India Belanda, karena pada 9 Maret
1942, di Kalijati, dekat Subang, setelah digempur selama satu minggu oleh
tentara Jepang, Pemerintah India Belanda yang diwakili oleh Panglima Tertinggi
tentara Belanda, Letnan Jenderal Hein ter Poorten, telah menandatangani dokumen
menyerah tanpa syarat kepada balatentara Dai Nippon, di bawah pimpinan Letnan
Jenderal Hitochi Imamura, Panglima Tentara 16. Di atas sepotong kertas, Belanda
“menyerahkan” seluruh wilayah India Belanda kepada Jepang.
Pada 15 Agustus 1945 di Australia, Letnan Gubernur Jenderal Dr. Hubertus
Johannes van Mook, bersama orang-orang Belanda yang ada di Australia mengadakan
rapat dan bersiap-siap untuk segera berangkat ke Indonesia.
Untuk mempercepat penguasaan Sekutu atas Jepang, pada bulan Juli 1945 di
Potsdam, Jerman, dicapai kesepakatan antara Amerika Serikat dan Inggris, bahwa
Letnan Jenderal Douglas MacArthur, panglima South West Pacific Area Command
(Komando Wilayah Pasifik Baratdaya) harus secepatnya mengerahkan pasukannya
menuju Jepang dan menyerahkan komando atas wilayah India Belanda kepada South
East Asia Command (Komando Asia Tenggara) di bawah Vice Admiral Lord Louis
Mountbatten. Maka pada tanggal 15 Agustus 1945, wewenang atas Jawa, Bali,
Lombok, Kalimantan dan Sulawesi diserahkan oleh MacArthur kepada Mountbatten.
Banyak orang berpendapat, bahwa nasib Indonesia akan berbeda apabila yang masuk
ke Indonesia adalah tentara Amerika, dan bukan tentara Inggris.
Secara resmi, tugas pokok yang diberikan oleh pimpinan Allied Forces kepada
Mountbatten adalah:
1. Melucuti tentara Jepang serta mengatur
pulangkan kembali ke negaranya (The disarmament and removal of the Japanese
Imperial Forces),
2. membebaskan para tawanan serta interniran
Sekutu yang ditahan oleh Jepang di Asia Tenggara (RAPWI - Rehabilitation of
Allied Prisoners of War and Internees), termasuk di Indonesia, serta
3. menciptakan keamanan dan ketertiban
(Establishment of law and order).

Jumlah tentara Jepang yang harus dilucuti dan ditahan di Sumatera, Jawa,
Sunda Kecil, Kalimantan, Papua Barat dll. mencapai lebih dari 300.000 orang.
Setelah dilucuti, mereka juga akan dipulangkan kembali ke Jepang. Selain itu
masih terdapat sekitar 100.000 tawanan dan interniran Sekutu yang harus
dibebaskan dari tahanan Jepang dan juga akan dipulangkan ke negara
masing-masing. Semula, Mountbatten memperkirakan akan diperlukan 6 Divisi untuk
dapat menyelesaikan tugas-tugas tersebut, namun kenyataannya, mereka hanya
dapat menyiapkan 3 Divisi, itupun dengan keterlambatan, sehingga ketika mereka
tiba di bekas India Belanda, boleh dikatakan hampir seluruh tentara Jepang
telah dilucuti oleh pihak Republik Indonesia, yang kemudian menguasai
persenjataan tersebut, seperti yang terjadi di Surabaya.
Pada 17 Agustus 1945, para pemimpin bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan
bangsa Indonesia. Pada 18 Agustus 1945, Ir. Sukarno dipilih sebagai Presiden
dan Dr. M. Hatta sebagai Wakil Presiden. Mereka kemudian membentuk kabinet yang
menjadi pemerintah Republik Indonesia. Juga ditunjuk para gubernur yang
mengepalai beberapa provinsi di republik yang muda tersebut.
Dengan demikian, tiga syarat pembentukan suatu negara telah terpenuhi, yaitu:
1. Adanya wilayah,
2. Adanya penduduk, dan
3. Adanya pemerintahan.

Berita mengenai proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945,
tentu sangat mengejutkan pemerintah Belanda. Setelah MacArthur menyerahkan
wewenang atas Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, serta daerah-daerah lain yang
termasuk wilayah bekas India Belanda kepada Mountbatten, Pemerintah Belanda
melakukan serangkaian pertemuan dan lobi dengan Pemerintah Inggris. Pada 24
Agustus 1945, di Chequers dekat London, Belanda dan Inggris menandatangani
Civil Affairs Agreement (CAA) yang isinya dituangkan dalam “Nota tanggal 24
Agustus 1945”,
Butir yang terpenting untuk Belanda dalam perjanjian ini adalah, penyerahan
wilayah Indonesia yang telah “dibersihkan” oleh tentara Inggris kepada
Netherlands Indies Civil Administration (NICA).
Konferensi Yalta pada bulan Februari 1945, ternyata bukan hanya membagi Eropa
menjadi dua blok: Barat dan Timur, melainkan juga menghasilkan suatu keputusan
yang sangat fatal bagi negara-negara bekas jajahan negara Eropa. Dalam suatu
pembicaraan rahasia antara Roosevelt dan Churchill, disepakati untuk
mengembalikan situasi di Asia kepada status quo, seperti sebelum invasi Jepang
Desember 1941. Kesepakatan rahasia keduanya ini dipertegas dan diformalkan
dalam deklarasi Potsdam pada 26 Juli 1945.
Untuk pelaksanaan tugas tersebut, Mountbatten membentuk Allied Forces in the
Netherlands East Indies (AFNEI) –Tentara Sekutu di India Belanda; dan jabatan
Komandan AFNEI, semula dijabat oleh Rear Admiral Sir Wilfred Patterson, yang
kemudian digantikan oleh Letnan Jenderal Sir Philip Christison, Panglima
Tentara 15 Inggris, yang juga seorang bangsawan Inggris. Christison sendiri
baru tiba di Jakarta tanggal 30 September 1945. Pasukan yang akan ditugaskan
dari British-Indian Divisions, adalah Divisi 5 di bawah Mayor Jenderal Robert
C. Mansergh untuk Jawa Timur, Divisi 23 di bawah Mayor Jenderal Douglas Cyril
Hawthorn untuk Jawa Barat dan Jawa Tengah, sedangkan Divisi 26 di bawah Mayor
Jenderal H.M. Chambers untuk Sumatera.
Namun ternyata ada hidden agenda (agenda rahasia) yang dilakukan oleh tentara
Inggris -dengan mengatasnamakan Sekutu- yaitu mengembalikan Indonesia sebagai
jajahan kepada Belanda.
Mountbatten mendapat bantuan dua Divisi Australia di bawah Letnan Jenderal
Lesley Morsehead, yang karena kekejamannya mendapat julukan “Ming the
merciless.” Kedua Divisi Australia tersebut ditugaskan untuk menduduki
kota-kota penting di Kalimantan dan Indonesia Timur lainnya. Pasukan Australia
datang bersama kesatuan-kesatuan NICA (Netherlands Indies Civil Administration)
di sebagian besar kota-kota itu sebelum adanya suatu gerakan Republik yang
terorganisasi dengan baik. Oleh karena itu, mereka relatif tidak banyak
menghadapi kesulitan untuk melaksanakan rencana semula guna mempersiapkan
pengambilalihan pemerintahan oleh pihak Belanda.
Dengan demikian, Australia sangat berjasa dalam membantu Belanda menduduki
wilayah-wilayah tersebut, karena pada waktu itu Belanda belum memiliki satuan
bersenjata yang terorganisir. Yang ada hanya bekas tawanan Jepang yang kondisi
fisiknya belum mampu untuk bertempur. Kemudian, atas desakan pihak Belanda,
Inggris menyerahkan wewenang atas Kalimantan serta kepulauan lain di bagian
timur Indonesia -kecuali Bali dan Lombok- kepada tentara Australia.
Setelah “membersihkan” wilayah Indonesia Timur dari kekuatan bersenjatan
pendukung Republik Indonesia, pada 13 Juli 1946 Australia secara resmi
“menyerahkan” seluruh wilayah Indonesia Timur kepada Belanda. Belanda tidak
membuang waktu, dan tanggal 15 – 22 Juli Belanda menggelar “Konferensi Malino”,
dekat Makassar, yang menjadi cikal bakal pembentukan Negara Indonesia Timur.
Pada 1 September 1945, Dr. Hubertus Johannes van Mook, mantan Wakil Gubernur
Jenderal di India Belanda bersama Dr. Charles Olke van der Plas, mantan
Gubernur Jenderal wilayah Timur, menemui Mountbatten di Kandy, Ceylon (Sri
Lanka), untuk mendesak Inggris melaksanakan persetujuan Civil Affairs Agreement
(CAA), serta tindaklanjut hasil keputusan konferensi Yalta dan Deklarasi
Potsdam.
Mengenai penambahan tugas yang diberikan secara mendadak kepadanya dan
informasi yang diberikan oleh van Mook mengenai situasi di India Belanda,
Mountbatten menulis:
“Having taken over the NEI (Netherlands East Indies – pen.) from the
South-West Pacific Area without any intelligence reports, I had been given no
hint of the political situation which had arisen in Java. It was known of
course, that an Indonesian Movement had been in existence before the war; and
that it had been supported by prominent intellectuals, some of whom had
suffered banishment for their participation in nationalist propaganda –but no
information had been made available to me as to the fate of this movement under
the Japanese occupation.
Dr. H.J. van Mook, Lieut.-Governor-General of the NEI who had come to Kandy
on 1st September, had given me no reason to suppose that the reoccupation of
Java would present any operational problem beyond the of rounding up the
Japanese.”

Catatan Mountbatten tersebut menunjukkan dengan jelas, bahwa informasi yang
diberikan oleh van Mook kepada Mountbatten salah dan menyesatkan, sehingga
berakibat sangat fatal, bukan saja bagi rakyat Indonesia, namun juga bagi
tentara Inggris, sebagaimana kemudian dialami oleh Brigade 49 di Surabaya bulan
Oktober 1945.
Van Mook dan pimpinan Belanda lain selalu menyatakan kepada pimpinan militer
Inggris, bahwa pengambil-alihan Indonesia tidak memerlukan kekuatan militer.
Kemungkinan karena percaya akan keterangan van Mook tersebut, maka Mountbatten
mengirim salah satu staf kepercayaannya, Mayor Jenderal A.W.S. Mallaby, yang
adalah seorang perwira administrasi, yang belum pernah memimpin pasukan tempur.
Untuk dapat memimpin satu Brigade tempur, ia rela pangkatnya turun menjadi
Brigadir Jenderal. Adalah suatu kebanggaan bagi seorang perwira, apabila dapat
menjadi komandan pasukan tempur, dan bukan sembarangan pasukan tempur,
melainkan Brigade 49, yang dijuluki sebagai “The Fighting Cock” (Ayam tarung).

PERISTIWA AMBARAWA

Pada tanggal 20 Oktober 1945, tentara Sekutu di bawah pimpinan Brigadir Bethell mendarat di Semarang dengan maksud mengurus tawanan perang dan tentara Jepang yang berada di Jawa Tengah. Kedatangan sekutu ini diboncengi oleh NICA. Kedatangan Sekutu ini mulanya disambut baik, bahkan Gubernur Jawa Tegah Mr Wongsonegoro menyepakati akan menyediakan bahan makanan dan keperluan lain bagi kelancaran tugas Sekutu, sedang Sekutu berjanji tidak akan mengganggu kedaulatan Republik Indonesia.

Namun, ketika pasukan Sekutu dan NICA telah sampai di Ambarawa dan Magelang untuk membebaskan para tawanan tentara Belanda, justru mempersenjatai mereka sehingga menimbulkan amarah pihak Indonesia. Insiden bersenjata timbul di kota Magelang, hingga terjadi pertempuran. Di Magelang, tentara Sekutu bertindak sebagai penguasa yang mencoba melucuti Tentara Keamanan Rakyat dan membuat kekacauan. TKR Resimen Magelang pimpinan M. Sarbini membalas tindakan tersebut dengan mengepung tentara Sekutu dari segala penjuru. Namun mereka selamat dari kehancuran berkat campur tangan Presiden Soekarno yang berhasil menenangkan suasana. Kemudian pasukan Sekutu secara diam-diam meninggalkan Kota Magelang menuju ke benteng Ambarawa. Akibat peristiwa tersebut, Resimen Kedu Tengah di bawah pimpinan Letnan Kolonel M. Sarbini segera mengadakan pengejaran terhadap mereka. Gerakan mundur tentara Sekutu tertahan di Desa Jambu karena dihadang oleh pasukan Angkatan Muda di bawah pimpinan Oni Sastrodihardjo yang diperkuat oleh pasukan gabungan dari Ambarawa, Suruh dan Surakarta.

Tentara Sekutu kembali dihadang oleh Batalyon I Suryosumpeno di Ngipik. Pada saat pengunduran, tentara Sekutu mencoba menduduki dua desa di sekitar Ambarawa. Pasukan Indonesia di bawah pimpinan Letnan Kolonel Isdiman berusaha membebaskan kedua desa tersebut, Letnan Kolonel Isdiman gugur. Sejak gugurnya Letkol Isdiman, Komandan Divisi V Banyumas, Soedirman merasa kehilangan perwira terbaiknya dan ia langsung turun ke lapangan untuk memimpin pertempuran. Kehadiran Kolonel Sudirman memberikan nafas baru kepada pasukan-pasukan RI. Koordinasi diadakan diantara komando-komando sektor dan pengepungan terhadap musuh semakin ketat. Siasat yang diterapkan adalah serangan pendadakan serentak di semua sektor. Bala bantuan terus mengalir dari Yogyakarta, Solo, Salatiga, Purwokerto, Magelang, Semarang, dan lain-lain.

Tanggal 23 Nopember 1945 ketika matahari mulai terbit, mulailah tembak-menembak dengan pasukan Sekutu yang bertahan di kompleks gereja dan pekuburan Belanda di Jalan Margo Agung. Pasukan Indonesia antara lain dari Yon Imam Adrongi, Yon Soeharto dan Yon Sugeng. Tentara Sekutu mengerahkan tawanan-tawanan Jepang dengan diperkuat tanknya, menyusup ke kedudukan Indonesia dari arah belakang, karena itu pasukan Indonesia pindah ke Bedono.

Pada tanggal 11 Desember 1945, Kolonel Soedirman mengadakan rapat dengan para Komandan Sektor TKR dan Laskar. Pada tanggal 12 Desember 1945 jam 04.30 pagi, serangan mulai dilancarkan. Pertempuran berkobar di Ambarawa. Satu setengah jam kemudian, jalan raya Semarang-Ambarawa dikuasai oleh kesatuan-kesatuan TKR. Pertempuran Ambarawa berlangsung sengit, Kolonel Soedirman langsung memimpin pasukannya yang menggunakan taktik gelar supit urang, atau pengepungan rangkap sehingga musuh benar-benar terkurung. Suplai dan komunikasi dengan pasukan induknya terputus sama sekali. Setelah bertempur selama 4 hari, pada tanggal 15 Desember 1945 pertempuran berakhir dan Indonesia berhasil merebut Ambarawa dan Sekutu dibuat mundur ke Semarang.

Kemenangan pertempuran ini kini diabadikan dengan didirikannya Monumen Palagan Ambarawa dan diperingatinya Hari Jadi TNI Angkatan Darat atau Hari Juang Kartika.


TRAGEDI 10 NOVEMBER

Bulan November merupakan bulan bersejarah bagi rakyat Indonesia, setelah Agustus tentunya. Para pendiri negeri telah sepakat menjadikan salah satu hari di bulan November sebagai Hari Pahlawan, tepatnya pada 10 November.

Hal ini dikaitkan dengan jiwa patriotik anak bangsa yang tinggal di Surabaya, Jawa Timur, dalam mempertahankan kemerdekaan negeri. Putra-putri Ibu Pertiwi di Surabaya tak rela ketika Belanda yang membonceng pasukan sekutu ingin merebut kembali kemerdekaan yang kita peroleh dengan perjuangan, air mata serta nyawa..

Kala itu, para pahlawan bangsa rela mengorbankan nyawa dan menyemburkan darah, serta tak henti-hentinya memanjatkan doa kepada Sang Khaliq agar kemerdekaan yang telah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 tidak lagi direbut oleh penjajah. Pada saat itu, seluruh kemampuan dan kekuatan ditumpahkan demi mempertahankan kemerdekaan.

Sayangnya, nilai-nilai perjuangan para pahlawan di Kota Surabaya kala itu, kini tampaknya terus meluntur. Sebagai penerus, banyak diantara kita seakan tak bisa memegang amanah. Malah sebaliknya, cenderung berkhianat. Daerah teritorial Indonesia yang haram ‘diinjak penjajah asing’ tak bisa lagi dipertahankan. Pintu terbuka lebar untuk ‘penjajah’, dengan dalih turut serta dalam pasar bebas, era globalisasi, AFTA, dan segala macam hubungan internasional. Namun ujung-ujungnya, segala kekayaan milik rakyat yang dikuasai negara, diserahkan begitu saja, mulai dari sumber alam sampai perusahaan negara beralih tangan, tanpa ada upaya mempertahankannya melalui perlawanan yang gigih, layaknya para pahlawan kita ketika tragedi 10 November 1945 lalu.

Rupanya, kekalahan para pahlawan kita di Surabaya oleh Sekutu (Belanda, Inggris, Amerika) saat itu, menjadi pertanda buruk bagi bangsa ini. Belum digelarinya tokoh sentral Bung Tomo sebagai pahlawan nasional, bisa jadi juga merupakan tanda-tanda yang jelas, bahwa pada hakekatnya kita takkan bisa berjuang mempertahankan bangsa ini dari tangan penjajah.

Kita juga tak bisa melindungi harta negeri ini dari cengkraman bangsa asing. Kita benar-benar tak bisa membanggakan diri sebagai bangsa yang kaya, bangsa yang sorgawi. Sebaliknya, negeri ini justru menjadi surga bagi bangsa asing. Segala macam kesenangan dunia, bisa mereka dapatkan di bumi nusantara ini. Tapi sebagi ahli waris bangsa, kita tak bisa mencicipinya apalagi menikmatinya.

Karena itu, tak ada salahnya jika file-file perjuangan para pahlawan bangsa, kita kaji kembali. Diambil hikmahnya dan dijadikan suri tauladan bagi kita semua, khususnya untuk mempertahankan negeri ini dari ancaman penjajah. Karena esensinya, penjajahan bukan hanya berarti fisik, tapi juga bisa diartikan secara ekonomis, politis dan culture. Bahkan, lebih berbahaya lagi jika ideologi kita yang dijajah. Tanyakan hati kita, tanya kenapa? **

Rabu, 06 Agustus 2008

BANDUNG LAUTAN API

Pada bulan September-Oktober 1945 terjadi bentrokan fisik antara pemuda, TKR, dan rakyat Bandung dengan tentara Jepang dalam usaha pemindahan markas Jepang, antara lain di Gedung PTT, pabrik senjata dan mesiu di Kiaracondong, yang puncaknya terjadi di Heetjanweg, Tegalega. Pada tanggal 9 Oktober 1945, bentrokan fisik dengan pihak Jepang dapat diselesaikan dengan damai. Pemuda, TKR, dan rakyat Bandung berhasil mendapatkan senjata mereka dan kemenangan ada di pihak rakyat Bandung. Namun bersamaan dengan itu, datanglah tentara Sekutu memasuki kota Bandung (21 Oktober 1945) sebanyak 1 brigade dipimpin Mc Donald Divisi India ke 23, dengan dikawal Mayor Kemal Idris dari Jakarta. Peranan Sekutu sebagai wakil kolonial Belanda segera menimbulkan ketegangan dan bentrokan dengan rakyat Bandung. Insiden-insiden kecil yang menjurus pada pertempuran sudah tidak dapat dihindari lagi. Pada tanggal 24 November 1945, TKR, pemuda, dan rakyat yang dipimpim oleh Arudji Kartasasmita sebagai komandan TKR Bandung memutuskan aliran listrik sehingga seluruh kota Bandung gelap gulita dengan maksud mengadakan serangan malam terhadap kedudukan Sekutu. Sejak saat itu, pertempuran terus berkecamuk di Bandung. Karena merasa terdesak, pada tanggal 27 November 1945 Sekutu memberikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat Sutarjo ditujukan kepada seluruh rakyat Bandung agar paling lambat tanggal 29 November 1945 pukul 12 unsur bersenjata RI meninggalkan Bandung Utara dengan jalan kereta api sebagai garis batas dermakasinya. Tetapi sampai batas waktu yang ditentukan, rakyat Bandung tidak mematuhinya. Maka sejak saat itu, Sekutu telah menganggap bahwa Bandung telah terbagi menjadi 2 bagian dengan jalan kereta api sebagai garis batasnya. Bandung bagian utara dianggap milik Inggris, sedangkan Bandung Selatan milik Republik. Mulailah tentara Sekutu yang terdiri dari tentara Inggris, Gurkha, dan NICA meneror penduduk di bagian Utara jalan kereta api. Mereka menghujani tembakan ke kampung-kampung dengan membabi buta. Kekalahan Republik dalam mempertahankan Gedung Sate/PTT membawa korban 7 orang meninggal dunia sebagai pahlawan. Pertempuran di UNPAD pada tanggal 1 Desember, Balai Besar K.A., dan Stasiun Viaduct pada 3 Desember menjadi saksi atas ketahanan bangsa Indonesia. Sepanjang bulan Desember 1945 sampai Januari 1946, pertempuran masih berlangsung dengan jalan kereta api sebagai garis demarkasinya. Titik utamanya: Waringin, Stasiun Viaduct, dan Cicadas. Demikian pertempuran di Fokkerweg berlangsung selama 3 hari 3 malam. Pada tanggal 2 Januari 1946, konvoi Inggris dari Jakarta yang terdiri dari 100 truk tiba di Bandung. Bantuan dari Jakarta selalu mengalir untuk membantu pertahanan Sekutu yang ada di Bandung, sementara di pihak Republik bantuan pun tak kunjung henti dari berbagai daerah. Sekutu merasa tidak aman karena selalu mendapat serangan dari TKR, pemuda, dan rakyat Bandung. Pada tanggal 24 Maret 1946, Sekutu mengeluarkan ultimatum lagi kepada bangsa Indonesia yang masih mempunyai atau menyimpan senjata, bahwa pada malam minggu harus sudah meninggalkan seluruh Bandung. Dengan demikian, garis demarkasi yang telah dibuat itu tidak digunakan lagi. Ultimatum itu berakhir sampai tengah malam Senin 24-25 Maret 1946. Secara lisan, pihak Sekutu meminta untuk mengawasi daerah dengan radius 11 km sekitar Bandung. TKR dan pasukan lainnya meminta waktu 10 hari karena penarikan TKR dalam waktu singkat tidak mungkin, namun tuntutan itu tidak disetujui. Dengan demikian, pertempuran sulit untuk dihindarkan. Ribuan orang mulai meninggalkan kota Bandung. Bulan Februari sampai Maret 1946, Bandung telah berubah menjadi arena pertempuran. Seperti yang diberitakan Kantor Berita ANTARA: “Berita yang diterima siang hari ini menyatakan sebagai berikut: Bandung menjadi lautan api. Gedung-gedung dari jawatan-jawatan besar hancur, di antaranya kantor telpon, kantor pos, jawatan listrik. Sepanjang jalan Pangeran Sumedang, Cibadak, Kopo, puluhan rumah serta pabrik gas terbakar. Semua listrik, penerangan di daerah Bandung putus, yakni Banjaran, Ciperu, dan Cicalengka. Yang masih berjalan hanya listrik penerangan daerah Pengalengan. Lebih lanjut dikabarkan, bahwa Inggris mulai menyerang pada tanggal 25 Maret pagi, sehingga terjadi pertempuran sengit yang masih berjalan sampai saat dibikinnya berita ini” (Sumber: Berita ANTARA, 26 Maret 1946).. Bandung sengaja dibakar oleh tentara Republik. Hal ini dimaksudkan agar Sekutu tidak dapat menggunakannya lagi. Di sana sini asap hitam mengepul membumbung tinggi di udara. Semua listrik mati. Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran sengit terjadi. Pertempuran yang paling seru terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana terdapat pabrik mesiu yang besar milik Sekutu. TKR bermaksud menghancurkan gudang mesiu tersebut. Untuk itu diutuslah pemuda Muhammad Toha dan Ramdan. Kedua pemuda itu berhasil meledakkan gudang tersebut dengan granat tangan. Gudang besar itu meledak dan terbakar, tetapi kedua pemuda itu pun ikut terbakar di dalamnya. Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan tetap tinggal di dalam kota, tetapi demi keselamatan maka pada jam 21.00 itu juga ikut keluar kota. Sejak saat itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduiduk dan kosong dari tentara. Tetapi api masih membumbung masih membakar Bandung. Kini Bandung berubah menjadi lautan api. Rakyat berduyun-duyun meninggalkan Bandung Selatan untuk mengungsi ke desa-desa. Sekutu tetap melancarkan serangan-serangan tapi jauh di utara ditujukan ke selatan. Sampai saat itu, hanya 16.000 orang pribumi yang tinggal di Bandung Utara, padahal sebelumnya daerah itu berpenduduk 100.000 jiwa.

Bandung Lautan Api

Bandung Lautan Api